Ini hari kesekian aku berada di kamarmu, menemanimu ngoceh apapun. Aku tidak banyak bicara. Aku hanya mendengarkan. Sesekali kamu diam, lalu air mata mengalir pelan dari pipimu. Tidak sesenggukan, tidak juga menjerit. Tapi itu luka.

Kamu tiba-tiba mendekatiku yang sedari tadi duduk di bawah, sementara kamu sebelumnya merebahkan badan di kasur. Kamu tersenyum. Tapi itu bukan senyum bahagia. Kenapa? Tanyaku. Kamu tunjukkan pergelangan tangan kirimu. Aku ikut mengamatinya.

Rhena, menurutmu, pembuluh darah mana yang bisa dengan cepat membuatku terbunuh setelah aku memotongnya? Tanyamu. Cepat aku memandangmu, tapi tercekat kata-kataku. Kamu tersenyum lagi. Bukan. Itu bukan senyum. Tapi itu luka.

Kamu tahu, Rhena? Selama ini jika kita terluka, kita hanya bisa merasakannya di hati. Kenapa luka hati tidak pernah muncul secara fisik; seperti luka terjatuh? Bukankah seringkali, luka di hati juga akibat rapuhnya diri yang akhirnya terjatuh dan terluka? Kamu meracau. Aku mencoba memahami apa yang ingin kamu katakan.

Kenapa kita tidak membuat luka menjadi lebih pantas untuk dirasakan? Tanyamu retoris. Maksudmu? Ya. Pertanyaan retoris selalu memunculkan pertanyaan tandingan.

Boleh kalau aku sayat pergelangan tanganku, agar aku punya alasan untuk merasakan sakit? Luka batin itu semu, Rhena. Kalau aku menangis sejadi-jadinya karena rasa perih dan darah yang keluar dari tangan, bukankah itu lebih masuk akal? Kamu tersenyum. Sekali lagi, itu bukan senyum. Tapi itu luka.

Aku sudah tidak bisa mendengar racauan kata-katamu lagi. Kugenggam erat kedua lenganmu. Zara, kamu masih punya pilihan. Kamu selalu punya pilihan. Ada banyak pilihan lain dalam hidupmu, kamu tahu? Setengah kugoncangkan badannya, sebagai isyarat bahwa aku tidak setuju dengan racauannya. Aku tidak setuju dengan isyarat tersirat dalam racauannya. Menyakiti diri secara nyata? Apa untungnya?

Hidup itu kadang seperti bunuh diri, Rhena. Kamu tidak pernah bisa meminta sebuah kematian agar segera datang padamu. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya datang adalah dengan membunuh dirimu sendiri; memastikan aliran darah bisa segera putus dan menyebabkan kematian.
Kadang, seperti itulah hidup; seperti itulah harapan. Menunggu harapan adalah kesia-siaan. Kecuali kamu mau merelakan diri menerjang rasa sakit dan mendapatkan apa yang kamu harapkan…

Aku mencerna kembali kata-katamu. Ini seperti dipaksa makan daging kambing yang sudah 20 tahunan tidak pernah masuk ke mulutku. Alot.

Mungkin beda jiwa, beda juga rasa. Menunggu, bagiku, bukan hal yang sia-sia jika disikapi dengan aktif. Bagi orang yang merasa bahwa menunggu adalah kesia-siaan, keyakinan diri sendiri yang membuatnya tampak seperti itu, Zara...

Lalu, apakah kita benar-benar punya pilihan, seperti katamu tadi, Rhena? Aku diam. Aku menghela nafas panjang dan menengadahkan kepala, menyisir langit-langit kamarmu.

Seseorang pernah mengatakan padaku, bahwa hidup ini esensinya hanya menjalankan apa yang Allah kehendaki, dengan ikhlas. Usaha yang kita lakukan hanya perilaku semu yang kadang terlihat sebagai usaha pribadi. Padahal bukan. Pun begitu dengan pilihan. Pilihan itu ada, tapi bersifat semu. Seolah kita bisa memilih, tapi sebenarnya tidak. Kali ini, aku yang tersenyum. Entah. Jangan kamu pikir aku tidak pernah terluka karena jatuh, Zara. Aku pernah… Beberapa kali terluka.

Pilihan semu? Tanyamu menekankan.

Kamu tahu, Zara? Banyak orang di dunia mengatakan bahwa Allah lebih tahu apa yang terbaik. Bukankah itu artinya, apapun yang kamu pilih, tetap pilihanNya yang akan terjadi… Pilihan kita hanya pilihan semu, bukan? Aku melihat matamu, dan isyaratnya adalah iya.

Sudahlah, Zara. Jangan pernah mencoba menganalogikan rasa semu di batinmu menjadi sesuatu yang nyata secara fisik. Biarkan itu tetap ada di batin. Agar kamu belajar, agar kamu paham, bahwa batin kita selalu sangat kuat menerima gempuran luka macam apapun. Kita masih kuat menangis dalam diam. Kita masih kuat menyembunyikannya dalam tawa.
Jangan pernah menganalogikan lukamu menjadi nyata. Karena jika semua luka batin ini kamu analogikan nyata, kita sudah tidak berbentuk lagi. Mungkin kita sudah tidak hidup.
Biarkan, Zara. Rasakan saja semua perih, nyeri, dan sakitnya. Batin kita sanggup menerimanya. Pasti sanggup…

Kupeluk dirimu dalam diam. Kamu tidak bergerak memelukku. Kamu masih diam. Ah, Zara.

Jika aku tidak bisa memelukmu dan membuat lukamu membaik, peluk dirimu sendiri. Batinmu lebih berhak mendapatkan pelukan; mendapatkan kata cinta darimu. Kuatkan dia… dan berterimakasihlah padanya...

Aku mengecup keningmu. Kamu masih bergeming. Aku berpamitan pulang. Kamu juga masih bergeming. Kututup pintu kamarmu, dan aku tidak tahu lagi apa yang sedang terjadi denganmu selepasku pulang. Entah diam bergeming. Entah menangis sesenggukan. Entah menatap nanar ke arah langit melalui jendela. Entah…

Kita kuat. Kita kuat
Posted from WordPress for Android

Leave a comment